Sabtu, 18 Oktober 2014

ABANG

Diposting oleh Unknown di 23.26
ABANG

          “cemong” begitulah orang memanggilnya. Pria kurus kering dan tinggi itu adalah abangku. Ia sosok seorang abang yang seperti ayah bagiku, di tambah setelah kepergian ibuku ia yang membiayai aku sekolah.  Kerja kerasnya menghidupi dan membiyayai aku sekolah patut di acungi jempol. Walaupun tidak tamat SD, setidakknya ia terus berjuang untuk mencari nafkah sendiri.  Berbagai frofesi pun telah ia jalani, mulai dari jadi tukang gorengan, tukang soto mie, tukang penjual bakso, tukang batagor  sampai ia menjadi tukang rujak keliling dan ia jalani itu semua dengan penuh tanggungjawab.
Abangku  tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil yang di sewa sebesar Rp.350.000 tiap bulannya. Tentu ia tidak sendirian di rumah petak itu, ia tinggal bersamaku dan ayah.  Abangku memang lebih menonjol di banding ayah. Ayah tidak dapat membaca maupun menulis dan ayah tidak setegas abang, jadi apapun masalah yang ku hadapi pasti aku akan cerita pada abangku dan bukan pada ayah, karena hanya abang yang bisa mengerti aku.
Masih segar dalam ingatan, saat itu abang masih berfrofesi sebagai tukang penjual gorengan. Ia berjualan di sebuah kios yang lumayan jauh dari rumah, menempuh jarak hingga 2 KM jauhnya, namun tetap ia jalani dengan sepenuh hati.
Sebelum subuh ia pergi ke pasar untuk berbelanja bahan dagangan yang akan ia buat. Setelah ia berbelanja, langsung ia bergegas mempersiapkan apa-apa saja yang akan ia bawa ke tempat ia berjualan.
Setiap pagi rumah petak itu seperti kapal pecah, barang-barang rumah tangga berserakan dimana-mana. Ada baskom yang berisi adonan terigu yang encer untuk membuat gorengan tempe, ada juga baskom yang berisi adonan kental untuk membuat gorengan tahu, bala-bala, dan lain-lain. Ada juga adonan untuk membuat kue pisang molen yang ia racik sendiri.
Sebelum jam 9 pagi, semua adonan dan bahan-bahan untuk jualan sudah siap di bawa ke lokasi. Abang membawanya dengan menaiki sebuah sepeda ontel yang di beli dari seorang penjual sayur. Ia kayuh sepeda itu dari rumah hingga tempat ia berjualan. Walaupun terasa lelah, tapi tetap ia jalani dengan penuh semangat.
Walaupun dagangannya laku keras, namun ada saja cobaan yang harus ia hadapi. Ia harus merasakan pahitnya di tipu orang.
Waktu itu sekitar jam 8 malam, setelah dagangannya habis dan ia sedang menghitung uang hasil dagangannya, tiba-tiba ada dua orang pria tidak dikenal  mengendarai sepeda motor bebek dating dari arah selatan, kemudian satu orang turun dari motor, pura-pura ingin membeli gorengan dan menepuk pundaknya dari belakang.
“permisi mas” Terdengar suara seorang pria dari belakang.
“iya, ada apa mas ???” Tanya abang sambil memegang uang hasil jerih payahnya seharian.
“begini mas, saya mau menjual handphone” pria itu menjelaskan dengan detail karakteristik handphone tersebut.
Dengan bodohnya abang memberikan semua uang hasil jerih payahnya seharian kepada orang yang tidak bertanggungjawab itu, dan ia menerima tawaran orang tidak di kenal itu untuk membeli handphonenya.
Setelah kedua orang itu pergi, beberapa menit kemudian abang sadar bahwa uang hasil jerih payahnya seharian ludes di bawa oleh orang yang tidak bertanggungjawab itu. Ia hanya di sisakan uang Rp.5000 dan handphone yang di berikan orang itu ternyata adalah handphone mainan yang berisi pasir di dalamnya.
Sepanjang jalan menuju rumah ia terus memikirkan apa yang terjadi pada dirinya, hanya sepeda ontel itu yang tersisa yang ia jadikan kendaraan untuk pulang ke rumah. Dengan lemas, ia terus mengayuh sepedanya dan bertanya-tanya “mengapa aku bias tertipu seperti ini???”
Aku heran melihat wajah abangku yang muram tidak seperti biasanya. “bang, kenapa kok muka mu melas gitu???” tanyaku.
Ia menghela nafas dan berjalan dengan lunglai. “abang kena tipu neng!” lalu ia ceritakan semua kejadian yang ia alami tadi. Aku merasa kasihan padanya, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menasehatinya untuk selalu bersabar.
“sabar ya bang, namanya juga musibah gak ada yang tahu kapan datangnya.” Ujarku.
**
Setelah semua kejadian itu, abang memulai kembali usahanya dari awal. Memulai kembali usahanya dari sisa-sisa uang yang ia kumpulkan selama berjualan gorengan. ia gunakan uang itu untuk usaha barunya, yaitu menjajakan rujak buah ke tiap-tiap kampung.
Tak terasa dua tahun telah berlalu, laba hasil jualan rujak itu ia kumpulkan tiap harinya. Alhasil ia mampu membangun rumah minimalis yang nyaman di kampung kelahirannya. Ia juga telah memiliki dua kedai rujak di dua tempat yang ia modali dari hasil jerih payahnya.

Kini, semangatnya untuk bangkit dari keterpurukan membuahkan hasil. Ia jadikan kejadian yang menimpa dirinya dua tahun lalu sebagai pelajaran. Dengan semangat pantang menyerah ia mampu melewati setiap cobaan yang datang. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

CATATAN JEN Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea