ABANG
“cemong” begitulah orang memanggilnya. Pria kurus
kering dan tinggi itu adalah abangku. Ia sosok seorang abang yang seperti ayah
bagiku, di tambah setelah kepergian ibuku ia yang membiayai aku sekolah. Kerja kerasnya menghidupi dan membiyayai aku
sekolah patut di acungi jempol. Walaupun tidak tamat SD, setidakknya ia terus
berjuang untuk mencari nafkah sendiri. Berbagai frofesi pun telah ia jalani, mulai
dari jadi tukang gorengan, tukang soto mie, tukang penjual bakso, tukang
batagor sampai ia menjadi tukang rujak
keliling dan ia jalani itu semua dengan penuh tanggungjawab.
Abangku
tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil yang di sewa sebesar Rp.350.000
tiap bulannya. Tentu ia tidak sendirian di rumah petak itu, ia tinggal bersamaku
dan ayah. Abangku memang lebih menonjol
di banding ayah. Ayah tidak dapat membaca maupun menulis dan ayah tidak setegas
abang, jadi apapun masalah yang ku hadapi pasti aku akan cerita pada abangku
dan bukan pada ayah, karena hanya abang yang bisa mengerti aku.
Masih segar dalam ingatan, saat itu abang masih
berfrofesi sebagai tukang penjual gorengan. Ia berjualan di sebuah kios yang
lumayan jauh dari rumah, menempuh jarak hingga 2 KM jauhnya, namun tetap ia
jalani dengan sepenuh hati.
Sebelum subuh ia pergi ke pasar untuk berbelanja
bahan dagangan yang akan ia buat. Setelah ia berbelanja, langsung ia bergegas
mempersiapkan apa-apa saja yang akan ia bawa ke tempat ia berjualan.
Setiap pagi rumah petak itu seperti kapal pecah,
barang-barang rumah tangga berserakan dimana-mana. Ada baskom yang berisi
adonan terigu yang encer untuk membuat gorengan tempe, ada juga baskom yang
berisi adonan kental untuk membuat gorengan tahu, bala-bala, dan lain-lain. Ada
juga adonan untuk membuat kue pisang molen yang ia racik sendiri.
Sebelum jam 9 pagi, semua adonan dan bahan-bahan
untuk jualan sudah siap di bawa ke lokasi. Abang membawanya dengan menaiki
sebuah sepeda ontel yang di beli dari seorang penjual sayur. Ia kayuh sepeda
itu dari rumah hingga tempat ia berjualan. Walaupun terasa lelah, tapi tetap ia
jalani dengan penuh semangat.
Walaupun dagangannya laku keras, namun ada saja
cobaan yang harus ia hadapi. Ia harus merasakan pahitnya di tipu orang.
Waktu itu sekitar jam 8 malam, setelah dagangannya
habis dan ia sedang menghitung uang hasil dagangannya, tiba-tiba ada dua orang
pria tidak dikenal mengendarai sepeda
motor bebek dating dari arah selatan, kemudian satu orang turun dari motor,
pura-pura ingin membeli gorengan dan menepuk pundaknya dari belakang.
“permisi mas” Terdengar suara seorang pria dari
belakang.
“iya, ada apa mas ???” Tanya abang sambil memegang
uang hasil jerih payahnya seharian.
“begini mas, saya mau menjual handphone” pria itu
menjelaskan dengan detail karakteristik handphone tersebut.
Dengan bodohnya abang memberikan semua uang hasil
jerih payahnya seharian kepada orang yang tidak bertanggungjawab itu, dan ia
menerima tawaran orang tidak di kenal itu untuk membeli handphonenya.
Setelah kedua orang itu pergi, beberapa menit
kemudian abang sadar bahwa uang hasil jerih payahnya seharian ludes di bawa
oleh orang yang tidak bertanggungjawab itu. Ia hanya di sisakan uang Rp.5000
dan handphone yang di berikan orang itu ternyata adalah handphone mainan yang
berisi pasir di dalamnya.
Sepanjang jalan menuju rumah ia terus memikirkan apa
yang terjadi pada dirinya, hanya sepeda ontel itu yang tersisa yang ia jadikan
kendaraan untuk pulang ke rumah. Dengan lemas, ia terus mengayuh sepedanya dan
bertanya-tanya “mengapa aku bias tertipu seperti ini???”
Aku heran melihat wajah abangku yang muram tidak
seperti biasanya. “bang, kenapa kok muka mu melas gitu???” tanyaku.
Ia menghela nafas dan berjalan dengan lunglai. “abang
kena tipu neng!” lalu ia ceritakan semua kejadian yang ia alami tadi. Aku
merasa kasihan padanya, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa
menasehatinya untuk selalu bersabar.
“sabar ya bang, namanya juga musibah gak ada yang
tahu kapan datangnya.” Ujarku.
**
Setelah semua kejadian itu, abang memulai kembali
usahanya dari awal. Memulai kembali usahanya dari sisa-sisa uang yang ia
kumpulkan selama berjualan gorengan. ia gunakan uang itu untuk usaha barunya,
yaitu menjajakan rujak buah ke tiap-tiap kampung.
Tak terasa dua tahun telah berlalu, laba hasil
jualan rujak itu ia kumpulkan tiap harinya. Alhasil ia mampu membangun rumah
minimalis yang nyaman di kampung kelahirannya. Ia juga telah memiliki dua kedai
rujak di dua tempat yang ia modali dari hasil jerih payahnya.
Kini, semangatnya untuk bangkit dari keterpurukan
membuahkan hasil. Ia jadikan kejadian yang menimpa dirinya dua tahun lalu
sebagai pelajaran. Dengan semangat pantang menyerah ia mampu melewati setiap
cobaan yang datang.
0 komentar:
Posting Komentar